Kilas Balik Cerita Sidang DKPP
Dilansir dari BeritaSulteng.com, pada sidang kedua yang digelar 2 Juni 2020, Biro SDM KPU RI, mengungkap kalau Tahir, yang sekarang menjabat sebagai komisioner KPUD Parigi Moutong, masih tercatat sebagai anggota Partai Demokrat.
Terkuaknya Tahir masih sebagai orang partai, ketika perwakilan KPU RI membuka pertanyaan terkait data Sistim Informasi Politik (Sipol) dan Sistim Informasi Pencalonan (Silon).
Bahan ‘interogasi’ Alfitra Salam, ini sempat dibeberkan salah satu media di Kota Palu, tentang Tahir yang masih tercatat dalam sistim tersebut sesuai Nomor Induk Kependudukan (NIK).
“Apakah dipastikan, NIK sama dengan milik saudara Tahir,” tanya Alfitra Salam, yang kemudian dijawab tegas, “Kalau NIK-nya benar-benar sama. Dalam Sipol, saudara Tahir masih merupakan pengurus partai Demokrat Parigi Moutong,” ujar Biro SDM itu.
Namun, ketika Hakim Alfitra Salam menanyakan apakah hal itu telah dilaporkan ke atasan, dan seperti apa mekanisme pelaporan, Biro SDM KPU RI menjawab, “Kami sudah melaporkan ke atasan,” singkatnya.
hakim Alfitra Salam mengarahkan pertanyaan ke saksi lain, yaitu ketua KPU Sulteng, Tanwir Lamaming. Kepadanya hakim Alfitra Salam, mencari tahu tindakan yang telah dilakukan oleh KPU Sulteng tentang panangan perkara tersebut ketika mencuat. Dalam jawabannya, Tanwir Lamaming, menjawab, sudah pernah mengundang Tahir, sekitaran akhir Februari 2019. Menurut Tanwir Lamaming, Tahir membantah alias tidak membenarkan.
Ketika ditanya apakah melakukan konfirmasi melalui Silon atau Sipol selama persoalan Tahir bergulir, Tanwir Lamaming mengaku belum melakukan.
Begitu juga saat anggota Bawaslu Sulteng, Jamrin, menanyakan kepada Tanwir Lamaming, apakah pihak KPU Sulteng pernah membentuk tim untuk melacak calon-calon komisioner KPU kabupaten melalui data Sipol dan Silon, lagi-lagi Tanwir mengaku kalau hal itu tidak dilakukan. Alasannya Tanwir, ada tim seleksi serta dari KPU Sulteng. Juga Tanwir bilang, “kami tidak melakukan pelacakan, karena memang tidak ada laporan masyarakat yang masuk ke KPU maupun tim seleksi,” katanya.
Diakhir penyampaiannya, Tanwir meminta putusan dari majelis DKPP berlaku adil, yang salah tetap diputuskan salah, dan yang benar kemudian direhab nama baiknya. “Kita semua tahu, kalau Tahir terganggu dengan kasus ini, sejak setahun terakhir. Ditambah lagi, dia kehilangan dua orang anaknya, saat bencana tsunami dan liquifaksi pada 28 September 2018,” tutup Tanwir Lamaming.
Menanggapi penyataan Tanwir, Abdul Majid yang sebagai pengadu mengatakan kalau pernyataan Tanwir sebenarnya bertolak belakang dengan proses yang dilakukan dalam pencalonan komisioner. Abdil Majid menyebutkan bahwa dirinya pernah masuk sebagai calon anggota KPU di kabupaten Sigi, yang bahkan ‘dibombardir’ data-data hasil pelacakan informasi kependudukan, hingga mencari laporan masyarakat.
“Sudah lebih dari setahun kasusnya, kenapa tidak bisa menyempatkan membuka data Silon dan Sipol yang hanya butuh waktu beberapa menit,” ujar Abdul Majid.
Dalam fakta persidangan itu, sayangnya, Tahir tak bisa membuktikan secara data dan fakta, kalau dirinya tidak lagi terlibat di partai. Tidak adanya surat resmi dari DPP Demokrat, terkait pemberhentinnya. Bahkan sebaliknya, namanya justru tercantum dalam sipol dan silon.
“Ini harus diputuskan dengan seadil-adilnya, jangan justru sebaliknya, menggelapkan nilai integritas penyelenggara, dan membuka persoalan baru,” tekan salah satu warga Kabupaten Parigi Moutong, yang menyaksikan langsung sidang virtual, via video striming FB milik DKPP RI.
Meski persidangan tersebut dilakukan secara virtual, namun berhasil mengungkap kesamaan NIK atas nama Tahir, serta diketahui kalau Tahir masih tercatat dalam keanggotaan partai Demokrat.
Selain itu, sidang pun ditutup untuk menunggu putusan kurang lebih dua pekan, untuk mendengarkan akhir dari proses tuntutan integritas dan etika penyelenggara demokrasi.
Pelaksanaan Sidang Putusan DKPP Terhadap Kasus Anggota KPUD Parigi Moutong ‘Belum Jelas’
Berdasarkan perhitungan, dua pekan setelah sidang kedua yang dihelat pada (02/6 red). Semestinya sidang putusan terkait dugaan kasus yang menjerat Tahir tepatnya dilaksanakan Selasa (16/6).
Sementara itu, berdasarkan informasi yang dihimpun tim KabarSAURUSonline.com, hingga Senin, (15/6) pihak yang terlibat belum mendapat informasi terkait jadwal sidang putusan tersebut.
Sebelumnya, sidang perdana digelar bulan Februari 2020, berlangsung di ruang sidang Bawaslu Provinsi Sulawesi Tengah. Sidang pemeriksaan dugaan pelanggaran Kode Etik Penyelenggara Pemilu (KEPP) perkara nomor 010-PKE-DKPP/I/2020, menghadirkan sejumlah saksi, termasuk saksi dari partai Demokrat.
Di persidangan awal, Adyana Wirawan anggota partai Demokrat, meminta majelis hakim untuk menguji forensik surat pernyataan yang ditandatangani Plt Ketua DPC Partai Demokrat Parigi Moutong yang menyatakan Tahir sudah tidak lagi di Partai Demokrat sejak tahun 2012.
Pasalnya, disinyalir surat pernyataan itu diduga tidak sah, sebab tidak terlampir surat keputusan pemberhentian Tahir dari DPP Partai Demokrat.
“Bagaimana mungkin yang mulia, dia masih menjadi pengurus DPD Partai Demokrat di Sulteng tahun 2012. Tapi, kemudian surat pengunduran dirinya, diterima oleh sekretaris DPC, bukan DPD. Bahkan surat keterangannya pun dibuat di DPC, bukan DPD. Ini aneh,” urai Adyana.
Surat pernyataan itu sempat jadi sasaran para jurnalis di Kabupaten Parigi Moutong, karena diduga sebagai salah satu ‘bukti sakti’ menghentikan perjalanan perkara ini di Parigi Moutong. Termasuk pernyataan sekretaris DPC Demokrat Parigi Moutong, Suardi, yang menegaskan kalau Tahir tidak lagi berada di Partai Demokrat, namun di saat yang sama, dalam SK Pengurus DPC Partai Demokrat periode 2016-2022, ikut bertandatangan pengajuan SK yang mencantumkan nama Tahir.
Gambaran yang paling menyingkap tabir, saat Abdul Majid menyebut dugaan bahwa tidak pernah digelar pleno penetapan dari keputusan Bawaslu Parigi Moutong terkait hasil investigasi pihak Bawaslu. Dugaan itu juga dikuatkan dengan tiadanya berita acara apalagi jumpa pers.
“Tentunya ini juga pelanggaran. Dan itu memunculkan kesan pembiaran ketika Dugaan Pelanggaran Kode Etik salah seorang anggota Komisioner KPU Parigi Moutong ini mencuat. Bahkan saat media massa masif memberitakan menyangkut empat dokumen bukti terbaru, pihak Bawaslu Parigi Moutong seakan diam dan enggan bergerak melacak,” ujarnya.
Atas pendapat itu, Abdul Majid menilai wajar bila Tahir merasa terlindungi dengan persoalan ini, meskipun mantan Ketua DPC Demokrat Parigi Moutong Haris Lasimpara, membenarkan kalau Tahir adalah pengurus Partai Demokrat.
Selain itu, Kepada Berita Sulteng, Abdul Majid menyebutkan dugaan adanya pihak lain di balik perkara Tahir. Pendapat barangkali ada keterlibatan invisible hand (tangan tak terlihat), menurut Abdul Majid, bila merunut proses dan perjalanan Tahir hingga sukses mencapai misi duduk di ‘kursi goyang’ anggota KPUD Parigi Moutong periode 2019-2024.
Dalam dua persidangan, argumen Abdul Majid ini dibantah oleh Komisioner KPUD Parigi Moutong, Tahir. Dijelaskan Tahir, surat pengunduran diri di bulan Oktober 2012 diterima Sekretaris DPC Partai Demokrat Parigi Moutong, yang kemudian diterbitkan surat pernyataan bahwa tidak di partai lagi sejak tahun 2012.
“Dalam kolom KTA, di surat pernyataan tidak ada nomor KTA saya. Ini berarti bukan saya. Begitu juga dengan nama. Saya ini lulusan Sarjana Pendidikan Islam, seperti dalam ijazah saya, bukan SPd,” tegasnya.
Tahir juga membantah kalau yang dijadikan alat bukti di persidangan bukan tandatangannya. Katanya tandatangannya berbeda dengan yang di dokumen lampiran pengadu.
Begitu pula dengan alamat didokumen, kata Tahir, sejak 2009 ia bermukim di Kota Palu. Nanti pindah ke Parigi Moutong tepatnya di Desa Sendana, Kecamatan Kasimbar, bulan Agustus 2018. “Tidak benar kalau semua dokumen itu milik saya,” bantah Tahir.
Terhadap pernyataan Haris Lasimpara yang berujar pernah didatangi Tahir dengan tujuan meminta kembali aktif di partai. Sebab, di masa yang dimaksud Haris Lasimpara, Tahir telah jadi bagian dari PNPM. Dimana salah satu syarat aktif di PNPM adalah tidak boleh berafliasi dengan partai politik.
Dari seluruh yang disampaikan pengadu maupun saksi pengadu, dianggap dusta oleh Tahir. Bahkan Tahir menilai bahwa itu sebagai aksi balas dendam dari pihak tertentu kepadanya. Secara khusus dilakukan oknum yang tidak lolos pada pemilihan legislatif. Dimana menurut Tahir, oknum terkait pernah merayunya agar bekerjasama dalam tujuan memenangkan oknum di Pileg. Namun ajakan itu ditolak Tahir.
“Bisa jadi kasus ini sengaja dimunculkan untuk mendzolimi saya, karena adanya tindakan penolakan tegas dari saya, terkait deal-deal politik,” beber Tahir.
Eksplorasi konten lain dari kabarSAURUSonline.com
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.