NASIONAL, kabarSAURUSonline.com – Organisasi pangan dunia (FAO) meramalkan, banyak Negara berpotensi mengalami krisis pangan pada tahun 2050 mendatang, akibat perubahan iklim sebagai konsekuensi dari menurunnya hasil panen dan gagal panen.
Hal tersebut berdasarkan data hasil monitoring yang dilakukan oleh Badan Meteorologi di 193 Negara dan State di seluruh dunia di akhir tahun 2022 yang lalu.
Demikian diungkapkan Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati, dalam Dialog Nasional Antisipasi Dampak Perubahan Iklim untuk Pembangunan Indonesia Emas 2045, di Jakarta, baru-baru ini.
“Kerentanan pangan ini tidak lepas dari kenaikan suhu global yang akhirnya memberikan tekanan tambahan pada sumber daya air sehingga menghasilkan water hotspot atau krisis air,” ujarnya, melansir bmkg.go.id.
Ia menambahkan, menurut prediksi FAO, lebih dari 500 juta petani skala kecil yang memproduksi 80 persen dari stok pangan dunia adalah yang paling rentan terhadap perubahan iklim.
“Situasi ini akan terjadi di berbagai belahan dunia tanpa memandang negara tersebut besar, kecil, maju atau berkembang,” terangnya.
Kata ia, tren suhu rata-rata tahunan periode 1951-2021 mengalami peningkatan temperatur 0,15 derajat Celsius per 10 tahun, yang menandakan fenomena peningkatan suhu permukaan telah terjadi secara signifikan dan merata di Indonesia.
“Ancaman krisis pangan di pertengahan abad ini perlu menjadi perhatian bersama, maka berbagai langkah pencegahan atau pengurangan risiko krisis tersebut, melalui upaya mitigasi dan adaptasi perlu lebih serius dan kongkrit digalakkan, agar prediksi krisis tersebut tidak sampai kejadian,” imbuhnya.
Pada kesempatan sama, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) Suharso Monoarfa, menyampaikan strategi pembangunan berketahanan iklim pada sektor pertanian.
Ia memaparkan, strategi tersebut adalah penerapan smart agriculture, pengembangan kualitas dan daya saing SDM lokal, penguatan System Rice Intensification (SRI), penerapan pertanian adaptif dan rendah karbon, dan modernisasi perbenihan varietas baru yang adaptif kekeringan.
“Untuk menahan laju perubahan iklim, rasanya lebih baik situasi ini masuk dalam kurikulum pembelajaran siswa sekolah agar kesadaran akan perubahan iklim terbentuk sejak dini,” pungkasnya.
Eksplorasi konten lain dari kabarSAURUSonline.com
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.