Sistem UHC di Parigi Moutong ‘Berhenti’, Mengapa?

Ilustrasi Sistem UHC
Keterangan Foto : ilustrasi Sistem UHC. Sumber foto : P2PTM Kementrian kesehatan
banner 468x60

Oleh : Bashar Badja

Parigi Moutong, Sistem UHC atau layanan jaminan kesehatan bagi warga miskin di Kabupaten Parigi Moutong, Provinsi Sulawesi Tengah, ternyata berhenti terhitung sejak Januari 2020.

Bacaan Lainnya
banner 336x280

Padahal, jaminan kesehatan daerah yang terintegrasi melalui program Universal Health Coverage (UHC) di Kabupaten Parigi Moutong tersebut, baru dimulai tahun 2019 lalu.

Sementara, melalui Sistem UHC itu sangat membantu masyarakat miskin di Kabupaten Parigi Moutong, yang belum terdaftar sebagai peserta BPJS Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan Nasional (PBI JKN)

Hal itu terungkap secara tersirat melalui edaran surat pemberitahuan yang terpampang di Dinas Sosial (Dinsos) Parigi Moutong, bagian pelayanan jaminan kesehatan.

Edaran itu menyebutkan, mulai tanggal 01 Januari 2020 sampai dengan batas waktu yang tidak ditentukan, Dinsos tidak dapat menerbitkan rekomendasi terkait pelayanan UHC bagi masyarakat miskin yang belum memiliki kartu BPJS.

Selain itu, kontrak kerjasama antara BPJS dan pemerintah daerah (Pemda) terkait UHC di Parigi Moutong berakhir pertanggal 31 Desember 2019.

Dengan demikian, tidak sedikit pasien tergolong masyarakat miskin yang masuk RS saat ini akan menjerit terkait pembiayaan dikenakan secara tunai kepada mereka.

Sementara itu, DPRD Parigi Moutong sudah menetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) tahun 2020, (30 Desember 2019). Akankah, faktor jaminan kesehatan kembali menjadi penyebab tersanderanya masyarakat miskin?.

Soal Sistem UHC Berenti, Komisi IV DPRD Parigi Moutong Angkat Bicara

Kepada KabarSAURUSonline.com, Ketua Komisi IV DPRD Parimo, Fery Budiutomo, menanggapi hal itu. Dia membeberkan, saat ini edaran Dinsos tersebut telah disampaikan ke desa-desa.

“Saya berupaya menanyakan hal itu pasca mendapat telepon dari dua masyarakat Balinggi. Disana saya ketemu dengan pak Ayub salah satu kepala seksi, alasannya karena adanya persentase jumlah layanan yang ditarik oleh APBN kurang lebih 30 ribu kepala,” terangnya.

Dijelaskannya, layanan UHC harus 95 persen berdasarkan Permensos, namun dengan adanya penarikan 30 ribu kepala itu ke APBN, maka itu menjadi masalah bagi masyarakat miskin.

Alasannya selanjutnya menurut Fery, Memorandum of Understending (MoU) dari BPJS dengan naiknya tarif pada tahun 2020, berimbas pada pembayaran yang harus diasumsikan dari APBD berjumlah Rp 48 milyar.

“Dari kemarin sudah dimasukan anggarannya sebanyak Rp 30 milyar lebih. Asumsi dari anggka itu hanya mampu membayar yang sudah terjaminkan sampai dibulan Agustus. Itu keterangan pak Ayub,” sebutnya.

Lanjut Fery, olehnya pihaknya meminta kepada lembaga-lembaga yang berkompetensi terkait hal itu, untuk meminta solusi kepada wakil Bupati, Badrun Nggai selaku pimpinan daerah yang juga Ketua UHC.

Sehingga kata dia, jika tidak secepatnya dicarikan solusinya, maka banyak masyarakat miskin di daerah itu tidak terlayani kesehatan atau dengan kata lain bayar tunai.

“Kalau tahun sebelumnya Rp 37 milyar, sekarang naik menjadi Rp 48 milyar namun naik juga asumsi biaya,” jelasnya.

Sementara itu Ketua DPRD Parimo, Sayutin Budianto menegaskan, jika penanganan masyarakat miskin di RS belum terpenuhi, maka sikap lembaga terpaksa harus menjaminkan stempel DPRD untuk membntu orang miskin yang menjalani perawatan di RS.

“Kalau masih seperti itu, DPRD siap menjaminkan Cap nya,” tandasnya.

banner 336x280

Eksplorasi konten lain dari kabarSAURUSonline.com

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.